Rabu, 30 Januari 2019

PESONA YANG HAMPIR HILANG


PESONA YANG HAMPIR HILANG

Gejolak hati ini rasanya selalu gelisah, entah apa yang digelisahkan. Ada semacam sumbatan yang tak tersalurkan, bagaikan aliran air mengalir, tapi sampai di tengah jalan ada yang menghambat. Ada semacam hembusan angin mendesir pelan menyisir halus di belantara padang savanna kehidupan. Ada desiran ombak kecil yang bergelombang lembut di samudra kehidupan, kadang riyak-riyak kecil menghantam biduk yang melaju gontai. Kadang ada penumpang yang tak tahu bagaimana supaya biduk ini melaju dengan tenang da nyaman. Hempasan ombak kecil yang semestinya menjadi hiasan dan perjalanan tapi justru menjadi malapetaka bila tak dapat dikendalikan. Suasana menjadi sepi dan kegalauan hatipun seakan menyayat hati.

Musim hujan ini menambah suasana seakan menenggelamkan bayangan yang indah, justru gambaran bencana banjir yang melanda beberapa daerah semakin mencekam dan menambah kepedihan. Hujan yang semestinya menambah berkah kini berubah menjadi bencana. Manusia-manusia serakah yang menghabiskan hujan menjadi ladang terbuka menyebabkan rembesan air tiada yang menyimpan. Tanah longsorpun tiada terhindarkan. Korban kini saling berjatuhan, manusia yang semestinya bisa menjaga alam sekitar justru mereka yang merusaknya. Semua akibatnya baru terasa setelah beberapa tahu berlalu. Inilah takdir yang digali oleh manusia sendiri. Anak-anak menjadi korban, ibu-ibu binggung karena seisi rumah tenggelam dalam air yang mengalir dengan derasnya, jembatan-jembatan putus, gedung sekolah roboh, ternak-tenak hilang entah kemana.

Di akhir tahun 2018 dan awal 2019 seakan alam memberikan jawaban atas ulah manusia yang serakah. Di tahun politik yang mulai memuncak justru saling fitnah dan mencerca berseliweran di media social atau tayangan televisi , bahkan ada juga tabloid yang sengaja di sebarkan untuk mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Di tambah serunya para manusia-manusai jalang yang ingin mendapatkan panggung ketenaran. Ada juga yang memperdagangkan nilai-nilai agama. Seakan Tuhan bisa diperjualbelikan. Tokoh agama gadungan saling bermunculan, ciutan tanpa dasar logika yang jelas saking bersautan dan menyerang. Inilah fenomena yang sedang terjadi sampai akhir bulan Januari ini.

Singgasana istana yang diperebutkan di negeri ini seakan merupakan tujuan utama para petualang-petualang kekuasaan. Undang-undang sudah mengatur semua kebutuhan manusia yang hidup di negetri tercinta ini, tapi semua itu seakan hanya tulisan di atas kertas, nilai-nilai moral yang semestinya menjadi acuan seakan sirna ditelan riuhnya kampanye yang saling menjatuhkan. Pada posisi seperti ini hati nurani dan akal sehat harus tetap di kedepankan semestinya, akan tetapi hanya kegellisahan yang menggelayuti. Seandainya semua saling mengerti dan memahami arti kehidupan ini tentu negeri ini akan semakin makmur dan sejahtera, walai badai menghantam, sunami menerjang, gempa menggoyang tentu akan dapat diatasi dengan kebersama, rasa cinta dan peduli yang membawa pada penyelesaian yang indah.

Negeri khatulistiwa yang mempunyai 17 ribu lebih pulau dan 1331 suku yang mendiami merupakan negeri yang penuh pesona, penuh dengan kekayaan yang luar biasa melimpahnya dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia yaitu berjulah 260 juta lebih, tapi sayang disayang kini pesonanya seakan hilang. Wajah pulau Dewata yang terkenal di manca Negara seakan hambar, indahnya raja Ampat di Papua seakan tenggelam oleh aksi bersenjata yang membunuh sesama anak bangsa. Rasa haus untuk meluluh lantakkan NKRI seakan menjadi ambisi utama,meskipun di lidah dan mulutnya mengkatan cinta NKRI, tapi perbuatanya nyata-nyata memecah belah sesama anak bangsa.

Rasa syukur akan karunia kekayaan dan keberagaman negeri ini seakan sirna di telan berita bohong yang saling susul menyusul. Rasa malu dari para penjahat negri telah hilang, pagi melakukan korupsi, malamnya melakukan prostitusi. Aneh di negeri yang berlandaskan nilai-nilai agama dan nilai luhur bangsa bangsa ini rusak oleh ambisi pribadi tanpa mengelokkan rakyatnya ini. Rakyat terobang-ambing dengan bualan para cerdik pandai tanpa makna, gelar akademis seakan tak punya  makna sama sekali. Orang yang betul-betul ingin menajukan negeri malah banyak di bully bahkan secara berjamaah measukkanya dalam penjara. Orang yang hidup sederhana punya keluarga yang harmonis malah menjadi bahan cacian yang tiada henti. Pemimpin yang baik hati dan siap melayani selam 24 jam tiada henti malah direndahkan martabatnya. Inlah negeri yang sedang dalam keserakahan duniawi.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, negeri ini masih banyak orang-orang yang berhati baja dan punya nyali untuk membelanya, meskipun pesonanya hampir sirnah akan tetapi tak memudarkan cahaya harapan di ufuk timur yang senantiasa hadir dalam kehangatan. Negeri ini tak akan  kehabisan orang-orang tangguh dan pantang menyerah karena negeri ini dibangun dengan tetesan darah para syuhada, doa para alim ulama, doa para ibu-ibu yang merelakan anak-anaknya mengorbankanya nyawa demi tegaknya NKRI. Biarlah yang serakah merajalela dan menyebar fitnah, tapi Tuhan pasti akan menghadirkan penghuman-Nya. Mereka lupa bahwa negeri ini berdiri diatas pusara  Waliyullah yang bertebaran di pelosok negeri. Mereka luapa pada sesanti “Suro diro joyodiningrat lebur dining pangastuti”


Surabaya, 31 Januari 2019


Tidak ada komentar:

KELAS 4A DIMASA PANDEMI

Kondisi pandemi yang hampir satu tahun ini menyebabkan pembelajaran dilakukan 100 % melalui daring. Anak-anak hanya bisa bertemu gurunya mel...