PESONA
YANG HAMPIR HILANG
Gejolak hati ini
rasanya selalu gelisah, entah apa yang digelisahkan. Ada semacam sumbatan yang
tak tersalurkan, bagaikan aliran air mengalir, tapi sampai di tengah jalan ada
yang menghambat. Ada semacam hembusan angin mendesir pelan menyisir halus di
belantara padang savanna kehidupan. Ada desiran ombak kecil yang bergelombang
lembut di samudra kehidupan, kadang riyak-riyak kecil menghantam biduk yang
melaju gontai. Kadang ada penumpang yang tak tahu bagaimana supaya biduk ini
melaju dengan tenang da nyaman. Hempasan ombak kecil yang semestinya menjadi
hiasan dan perjalanan tapi justru menjadi malapetaka bila tak dapat
dikendalikan. Suasana menjadi sepi dan kegalauan hatipun seakan menyayat hati.
Musim hujan ini
menambah suasana seakan menenggelamkan bayangan yang indah, justru gambaran
bencana banjir yang melanda beberapa daerah semakin mencekam dan menambah
kepedihan. Hujan yang semestinya menambah berkah kini berubah menjadi bencana. Manusia-manusia
serakah yang menghabiskan hujan menjadi ladang terbuka menyebabkan rembesan air
tiada yang menyimpan. Tanah longsorpun tiada terhindarkan. Korban kini saling
berjatuhan, manusia yang semestinya bisa menjaga alam sekitar justru mereka
yang merusaknya. Semua akibatnya baru terasa setelah beberapa tahu berlalu. Inilah
takdir yang digali oleh manusia sendiri. Anak-anak menjadi korban, ibu-ibu
binggung karena seisi rumah tenggelam dalam air yang mengalir dengan derasnya,
jembatan-jembatan putus, gedung sekolah roboh, ternak-tenak hilang entah
kemana.
Di akhir tahun
2018 dan awal 2019 seakan alam memberikan jawaban atas ulah manusia yang
serakah. Di tahun politik yang mulai memuncak justru saling fitnah dan mencerca
berseliweran di media social atau tayangan televisi , bahkan ada juga tabloid
yang sengaja di sebarkan untuk mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Di tambah
serunya para manusia-manusai jalang yang ingin mendapatkan panggung ketenaran.
Ada juga yang memperdagangkan nilai-nilai agama. Seakan Tuhan bisa
diperjualbelikan. Tokoh agama gadungan saling bermunculan, ciutan tanpa dasar
logika yang jelas saking bersautan dan menyerang. Inilah fenomena yang sedang
terjadi sampai akhir bulan Januari ini.
Singgasana istana
yang diperebutkan di negeri ini seakan merupakan tujuan utama para
petualang-petualang kekuasaan. Undang-undang sudah mengatur semua kebutuhan
manusia yang hidup di negetri tercinta ini, tapi semua itu seakan hanya tulisan
di atas kertas, nilai-nilai moral yang semestinya menjadi acuan seakan sirna
ditelan riuhnya kampanye yang saling menjatuhkan. Pada posisi seperti ini hati
nurani dan akal sehat harus tetap di kedepankan semestinya, akan tetapi hanya
kegellisahan yang menggelayuti. Seandainya semua saling mengerti dan memahami
arti kehidupan ini tentu negeri ini akan semakin makmur dan sejahtera, walai
badai menghantam, sunami menerjang, gempa menggoyang tentu akan dapat diatasi
dengan kebersama, rasa cinta dan peduli yang membawa pada penyelesaian yang
indah.
Negeri khatulistiwa
yang mempunyai 17 ribu lebih pulau dan 1331 suku yang mendiami merupakan negeri
yang penuh pesona, penuh dengan kekayaan yang luar biasa melimpahnya dengan
jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia yaitu berjulah 260 juta lebih, tapi sayang
disayang kini pesonanya seakan hilang. Wajah pulau Dewata yang terkenal di manca
Negara seakan hambar, indahnya raja Ampat di Papua seakan tenggelam oleh aksi
bersenjata yang membunuh sesama anak bangsa. Rasa haus untuk meluluh lantakkan
NKRI seakan menjadi ambisi utama,meskipun di lidah dan mulutnya mengkatan cinta
NKRI, tapi perbuatanya nyata-nyata memecah belah sesama anak bangsa.
Rasa syukur akan
karunia kekayaan dan keberagaman negeri ini seakan sirna di telan berita bohong
yang saling susul menyusul. Rasa malu dari para penjahat negri telah hilang,
pagi melakukan korupsi, malamnya melakukan prostitusi. Aneh di negeri yang
berlandaskan nilai-nilai agama dan nilai luhur bangsa bangsa ini rusak oleh
ambisi pribadi tanpa mengelokkan rakyatnya ini. Rakyat terobang-ambing dengan
bualan para cerdik pandai tanpa makna, gelar akademis seakan tak punya makna sama sekali. Orang yang betul-betul
ingin menajukan negeri malah banyak di bully bahkan secara berjamaah
measukkanya dalam penjara. Orang yang hidup sederhana punya keluarga yang
harmonis malah menjadi bahan cacian yang tiada henti. Pemimpin yang baik hati
dan siap melayani selam 24 jam tiada henti malah direndahkan martabatnya. Inlah
negeri yang sedang dalam keserakahan duniawi.
Untung tak dapat
diraih, malang tak dapat di tolak, negeri ini masih banyak orang-orang yang
berhati baja dan punya nyali untuk membelanya, meskipun pesonanya hampir sirnah
akan tetapi tak memudarkan cahaya harapan di ufuk timur yang senantiasa hadir
dalam kehangatan. Negeri ini tak akan kehabisan
orang-orang tangguh dan pantang menyerah karena negeri ini dibangun dengan
tetesan darah para syuhada, doa para alim ulama, doa para ibu-ibu yang
merelakan anak-anaknya mengorbankanya nyawa demi tegaknya NKRI. Biarlah yang
serakah merajalela dan menyebar fitnah, tapi Tuhan pasti akan menghadirkan
penghuman-Nya. Mereka lupa bahwa negeri ini berdiri diatas pusara Waliyullah yang bertebaran di pelosok negeri.
Mereka luapa pada sesanti “Suro diro joyodiningrat lebur dining pangastuti”
Surabaya, 31 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar